So, You're The "Math All-Star"?
Hai. Namanya siapa?
Aku selalu bingung kalau ada yang tanya soal masa depan.
Walau kelihatannya kayak manusia apatis yang hobi prokras, sebenarnya aku quite a thinker juga, lho (plak). Bedanya, aku bukan seseorang yang mudah memutuskan sesuatu. Variabel di kehidupan terlalu banyak dan kusut menurut aku buat diputuskan secara gamblang dan rinci. Pertanyaan-pertanyaan tentang kampus idaman dan tipe rumah impian rasanya jauh lebih sulit dibanding soal ulangan honors kalkulus. Kadang-kadang bisa aja ada tikungan entah dari mana yang bikin rute kita berubah meski tujuan akhirnya sama.
Seringnya, malah, kita terdampar di tempat yang tidak disangka-sangka.
Aku ke Lansing waktu itu buat menonton baseball match pertama aku. Kata papaku, sih, orang-orang sini biasanya nonton sports bukan karena benar-benar sport-lovers. Kebanyakan dari mereka cuma mau mencari waktu buat mengobrol dan menghabiskan hari bersama. Pertanyaannya: apa tiket 50 dollar tersebut sepadan dengan momen yang didapat?
Di Jackson Field Stadium ternyata aku ketemu Tansulu, salah satu teman yang ketemu di Washington DC beberapa saat lalu, asalnya dari East Asia. Dia baik dan supel. Aksen Rusianya yang kental juga menurutku cantik banget. Selain Tansulu, aku juga berkenalan dengan banyak orang di sini. Kebanyakan teman-teman YFU dari seluruh dunia (dan alumni). Di tengah-tengah kehebohan dan percakapan penuh haru tentang kerasnya hidup, tiba-tiba ada seseorang yang meminta izin buat ikut menimbrung.
"Hi, guys. I'm Rob. Mind if I join y'all?"
Suara laki-laki itu serak dan jauh lebih berat dari Thomas, meski kelihatannya selisih usia mereka tidak terlalu jauh. Staf kali, ya?
Kami menggeleng, terus terjadilah prosesi perkenalan panjang lebar.
"And, you, what's your name?" Rob berbasa-basi. Mungkin dia lelah menanyai kami, tapi tidak enak juga kalau ada yang ketinggalan.
Aku menegakkan kepala buat menjawab. Namun sebelum kata-kata sempat keluar, dia sudah lebih dulu membaca nametag di bajuku.
"Kanya? Kanya Kamilah? Indonesian Kanya Kamilah?"
Mataku membulat. Waduh, sampai tahu nama belakang dan negara asal. Ini karena aku jadi anak YFU yang datangnya belakangan sendiri, kah?
Ekspresi terkejut berusaha keras aku hilangkan, "I am! How'd you know?"
Salah satu sudut bibir Rob terangkat naik. "How I wouldn't know?" Seringainya bertambah lebar, kemudian dia tertawa. "I am familiar with all your names, guys. It's just I've never seen you in person before."
Aku mengangguk-angguk. Masuk akal juga. "Now that you've met us, whatca think?"
"Better than pictures." Matanya mengerling.
"Oh, that's right. You better say that." Tansulu mengibaskan rambut tiba-tiba.
Semuanya tertawa.
Rob melanjutkan, "Anyway, meet my wife and granddaughter." Bangku yang terletak beberapa baris di depan dia tunjuk.
"Hi."
Kami semua tersenyum. "Hi."
"He told us a lot about you, Kanya. It's very nice to finally meet you." Umur gadis yang berbicara mungkin delapan-sembilan tahun. Rambutnya pirang pasir panjang dan bergelombang.
Huh?
"Ah. Nice to meet you too...?"
"So, you're the math all-star, huh?" Alis Rob seolah-olah berbisik duh, ini pertanyaan retoris, lho.
"Ha." Aku menyipitkan mata curiga, kemudian memutar badan seratus delapan puluh derajat ke arah Thomas. "You told him?"
Dia menggeleng. "How could you give me such an accusation? I am just sitting here, peacefully."
Salah satu rekan bicara Thomas berceletuk, "Your dad didn't tell Rob. But, yeah, we're talking about you."
Aku memberikan Thomas tatapan ha, gotcha. Dia yang pura-pura tidak peduli cuma cengengesan. Omong-omong, Rob keren. Dia bilang, dia baru saja pulang dari Indonesia beberapa bulan yang lalu buat mengisi seminar. Ajaibnya, seminarnya diadakan di sekitar daerahku. Blah, blah, blah...
Satu cerita, dua cerita, tiga, sepuluh, dua puluh...
Obrolan malam itu diakhiri dengan perbandingan: lebih macet mana, Jakarta atau New York City?
Komentar
Posting Komentar